absent-minded scholar |
Salam alaikum, Sobat Sarang...
Ya,
kita masih di postingan-jembatan menuju bahasan tentang Ruh Qudus.
Mohon sabar dan bebaskan diri dari prasangka ya. Saya tidak sedang
mempermainkan Sobat Sarang sekalian. Tulisan ini akan menguraikan
betapa selama ini kita telah lalai. Frasa "Ruh Qudus" disebutkan
berkali-kali di dalam Quran, tetapi kebanyakan kita mengacuhkannya
begitu saja, seperti yang tidak ikhlas frasa itu ada di dalam kitab suci
Islam. Seperti alergi karena beranggapan frasa itu milik iman lain
dalam Injil. Bahkan hampir-hampir menganggap yang selain Islam itu bukan
ciptaan Tuhan.
Akhirnya umat mengartikan ber-Tuhan itu cukup dengan berakhlak dan berhukum. Akhirnya umat terbagi menjadi dua ekstrem, yaitu para saleh yang kemayu dan para pejihad yang ganas. Yang di tengah-tengah kebingungan lalu mengambil paham sana-sini. Tidak berkarakter sama sekali. Seperti para ulamanya. Buih.
Selama ±23 tahun penyebaran Risalah Islam, baru pada tahun ke-11 perintah mengerjakan ibadah syariat turun, yaitu ketika Nabi Muhammad Rasulullah Saw. mengalami peristiwa Isra Mikraj. [bila berkenan, silakan buka tulisan terdahulu soal Awwaluddin Syariatullah di antara Kita]
Berikut ini dua hal yang telah lama dilalaikan ulama masa kini:
Mengapa ini bisa terjadi? Karena umat lalai. Mengapa umat bisa lalai? Karena ulamanya lalai.
Selama ini umat hanya dicekoki dengan
dakwah akhlak dan hukum. Umat jadi lebih dekat dan lebih kenal dengan
akhlak dan hukum, sambil tetap asing dengan Tuhannya. Ada pun
pembicaraan soal tauhid, kebanyakan ulama hanya menguraikannya sebagai
"pengetahuan" penambah wawasan belaka. Tidak dijelaskan bagaimana
mempraktikan akhlak dan hukum di bawah naungan filosofi iman itu.
Akhirnya umat mengartikan ber-Tuhan itu cukup dengan berakhlak dan berhukum. Akhirnya umat terbagi menjadi dua ekstrem, yaitu para saleh yang kemayu dan para pejihad yang ganas. Yang di tengah-tengah kebingungan lalu mengambil paham sana-sini. Tidak berkarakter sama sekali. Seperti para ulamanya. Buih.
Selama ±23 tahun penyebaran Risalah Islam, baru pada tahun ke-11 perintah mengerjakan ibadah syariat turun, yaitu ketika Nabi Muhammad Rasulullah Saw. mengalami peristiwa Isra Mikraj. [bila berkenan, silakan buka tulisan terdahulu soal Awwaluddin Syariatullah di antara Kita]
Apakah selama ±12 tahun sebelum turunnya perintah bersyariat, Muhammad Rasulullah saw. itu kerjanya hanya makan dan tidur?Ulama masa kini kebanyakan terputus kontak ilmunya dengan ulama tauhid masa lalu. Hampir-hampir terputus jembatannya dengan dakwah akidah hakiki. Alih-alih memahamkan umat pada filosofi keber-Tuhan-an, pemahaman tauhid hampir-hampir seperti mau ditenggelamkan begitu saja.
Berikut ini dua hal yang telah lama dilalaikan ulama masa kini:
1. Hukum Aqli
Agama itu syariah dan akidah. Menyempurnakan syariat dengan syara', menggunakan hukum fiqh. Menyempurnakan akidah dengan apa? Dengan tauhid. Menggunakan hukum aqli.
Agama itu syariah dan akidah. Menyempurnakan syariat dengan syara', menggunakan hukum fiqh. Menyempurnakan akidah dengan apa? Dengan tauhid. Menggunakan hukum aqli.
Maka hukum dalam agama itu hanya tiga
- hukum aqli, yaitu filosofi iman dan ketuhanan,
- hukum syar'i, yaitu penjelasan interaksi Tuhan-hamba dan interaksi hamba dengan sesamanya, dan
- hukum adat, yaitu sunatullah atau "hukum alam". Contoh: kalau lapar obatnya makan, kalau haus obatnya minum.
Dengan mengetahui hukum syara', tahulah kita bahwa dalam ibadah itu ada syaratnya, rukunnya, wajibnya, dan pembatalnya. Contohnya ketika hendak melakukan salat, terdahulu syaratnya, yaitu bersuci. Sewaktu melakukan salat, berlakulah rukun. Untuk mengetahui sah atau tidaknya ibadah kita, tentu perlu diketahui hal -hal yang bisa membatalkannya.
2. Rukun Syahadat
Dalam bersyahadat, supaya sempurna syahadat kita itu, harus kita ketahui rukun syahadat, yaitu meng-isbat-kan (meyakinkan) Zat, Sifat, Asma, dan Af'al Allah.
Begitulah ibadah. Kalau tidak tahu rukunnya, batal! Salat, puasa, zakat saja ada rukunnya. Apalagi syahadat yang merupakan permulaan agama.
Quran itu jangan hanya dibahas terjemahannya saja atau makna tafsir saja, harus sampai pada makna yang tersirat. Jangan hanya sampai di situ, harus bisa sampai ke makna hakikinya. Inilah tugas para ulama!
Islam ini agama yang benar. Tentu harus bisa dijelaskan sampai makna hakikinya. Makna hakiki inilah tanggung jawab ulama menjelaskannya pada umat.
Sebelum ada alam dunia, alam akhirat, segala alam, yang ada zat saja. Zat mutlak. Ketika zat mutlak tidak ada, bahkan kosong pun tidak ada. Tatkala kosong sekosong-kosongnya itu, tidak usah dipikir-pikir lagi. Syahadatlah kamu. Yang sudah tetap adanya, tidak usah dikata lagi. Syahadat saja.
Jangan kita tahu menyebut Allah, tapi apa Allah itu? Bagaimana Allah itu? Baca Q.S. Fushilat ayat 54. Pahami makna hakikinya! Yang kita tidak tahu soal Allah itu Mahabesarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar